Keraton atau kraton (bahasa Jawa) adalah daerah tempat seorang penguasa (raja atau ratu) memerintah atau tempat tinggalnya (istana). Dalam pengertian sehari-hari, keraton sering merujuk pada istana penguasa di Jawa. Dalam bahasa Jawa, kata kraton berasal dari kata dasar ratu yang berarti penguasa. Kata Jawa ratu berkerabat dengan kata dalam bahasa Melayu; datuk/datu. Masyarakat Keraton pada umumnya memiliki gelar kebangsawanan
Keraton Kanoman merupakan salah satu dari empat keraton di Cirebon. Awal munculnya Keraton Kanoman merupakan hasil perpecahan dari Kasultanan Cirebon. Keraton Kanoman didirikan oleh putra Panembahan Girilaya (Pangeran Karim) yaitu Pangeran Kartawijaya dengan gelar Sultan Anom Adil Makarimi Muhammad Badridin tahun 1677-1723. Sultan Badridin (Sultan Kanoman I) merupakan turunan ke-7 dari Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Adapun prasasti tahun berdirinya Keraton Kanoman terdapat pada pintu Pendopo Jinem yang menuju keruangan Prabayaksa. Pintu tersebut terpahat gambar angka Surya Sangkala dan Candra Sangkala, yang berarti Keraton tersebut didirikan pada tahun 1510 Saka atau 1588 Masehi (http// id. Wikipedia. Org/ wiki / Kasultanan Cirebon ).
Keraton Kanoman sebagai sebuah tempat pariwisata memiliki beberapa potensi yaitu dibidang budaya dan keunikan bangunan Keraton Kanoman sendiri.
Bangunan-bangunan dalam keraton kanoman misalnya:
a. Masjid Agung Kanoman
Masjid Agung Kanoman merupakan tempat dimana keraton menjalankan salah satu fungsinya sebagai pusat penyebaran Islam. Dalam masa sekarang ini, masjid tersebut masih dipergunakan sebagai sarana ibadah umat Islam di sekitar keraton serta sebagai tempat penyelenggaraan upacara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Begitu juga dengan langgar keraton masih difungsikan masyarakat sekitar terutama bagi wisatawan untuk beribadah.
b. Kompleks Siti Inggil
Kompleks Siti Inggil ialah dataran tanah yang lebih tinggi di bandingkan dataran tanah dari bangunan-bangunan yang ada di sekitar Kanoman terdapat tiga buah pintu apabila kita akan memasuki Kompleks Siti Inggil yaitu :
· Pintu Syahadatain, yaitu Pintu masuk yang menghadap Utara.
· Pintu Kiblat, yaitu Pintu yang menghadap Barat.
· Pintu Sholawat, yaitu pintu masuk yang menghadap ke Selatan.
Didalam komplek Siti Inggil sendiri terdapat dua bangunan yaitu :
· Mande Manguntur, yaitu tempat palungguhan Sultan apabila menghadiri dan menyaksikan upacara sakral dan menyampaikan berita atau wejangan kepada masyarakat.
· Bangsal Sekaten, terletak di sebelah Mande Manguntur yang berfungsi khusus untuk pementasan Gamelan Pusaka yaitu gamelan Sekaten tiap tanggal 8 sampai dengan 12 Maulid setiap tahunnya.
Kompleks Siti Inggil di Keraton Kanoman memiliki makna filosofis yang sangat tinggi dalam bidang keagamaan, khususnya agama Islam. “Apabila seseorang ingin mencapai derajat yang tinggi, maka kita harus membaca Syahadat sebagai syarat muslim, menghadap kiblat dengan melakukan sholat sebagai salah satu kewajiban muslim, dan senantiasa bersholawat dengan melaksanakan sunah-sunah Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin muslim”.(diktat sejarah singkat Kasultanan Kanoman Cirebon:6).
c. Bangsal Semirang
Bangunan ini terletak di sebelah Barat Kebon Raja yang penuh dengan ornament dan hiasan taman seperti wadasan dan mega mendung, yang merupakan motif nisan makam di Troloyo Jawa Timur yang kemudian dikembangkan dan mencapai bentuk yang lebih jelas, hingga akhirnya munculah seni dekoratif motif awan khas Cirebon. Tempat ini berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para seniman dan budayawan untuk mencari inspirasi dan tempat berdiskusi, karena tempat ini penuh dengan ornament dan hiasan taman.
d. Bangunan Garuda Mangkur.
Bangunan ini terletak di sebelah Selatan Langgar Keraton, Berfungsi sebagai garasi kendaraan Sultan. Diatas bangunan ini terdapat lonceng perunggu pemberian Gunernur Raffles. Lonceng ini dahulunya digunakan sebagai alat penentu waktu, tetapi sejak sekitar tahun 1950 lonceng ini sudah tidak digunakan lagi karena mengalami keretakan.
e. Bangsal sekaten
Bangunan ini terletak di sebelah Mande Mnguntur yang berfungsi khusus untuk pementasan gamelan pusaka yaitu Gamelan Sekaten, pementasan ini dilakukan setiap tanggal 8-12 Maulid Nabi. Bentuk Bangsal ini persegi panjang dengan kontruksi Malang Semirang dan memiliki rongga resonansi sehingga apabila gamelan dibunyikan memiliki gema suara yang khas.
f. Gedung Museum Keraton Kanoman
Sebagai tempat penyimpanan benda-benda peninggalan Kesultanan Kanoman dan sebagai sumber informasi sehingga generasi sekarang masih dapat menikmati dan mengambil makna dengan adanya berbagai peninggalan tersebut. Bangunan-bangunan dan benda-benda yang masih berdiri dapat menjadi lambang kekuasaan dan gambaran kejayaan Kesultanan Kanoman yang bisa kita jadikan semangat perjuangan dan cinta tanah air.
g. Kereta Paksi Naga Liman
Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan yang digunakan untuk menghadiri upacara kebesaran. Kereta ini merupakan gagasan dari Pangeran Losari (P. Pulasaren) pada tahun 1350 Saka atau 1428 Masehi. Paksi Naga Liman ini memiliki arti sebagai suatu simbol beberapa unsur kekuatan yaitu; udara, air, dan tanah sehingga dengan ketiga unsur tersebut difungsikan didalam unsur kekuatan pertahanan negara.
h. Kereta Jempana
Kereta ini digunakan khusus bagi permaisuri. Jempana dari bahasa Cirebon “Jemjeming Pangagem Manahayang” yang artinya teguh dalam hati. Pemrakarsa kereta ini adalah Pangeran Losari pada masa Pemerintahan Ratu Cirebon I. Pada kereta ini terdapat ukiran inti dari patran Cirebon, selain itu terdapat juga pada bagian dasar tempat duduk dengan ukiran wadasan berpatran klungson (biji asem). Sedangkan pada bagian atas dari tempat duduk terdapat besi yang menyerupai payung dengan patran ukiran Mega Mendung.
i. Kursi Gading
Kursi Gading ini adalah kursi singgasana Sultan yang terbuat dari Gading, yang berusia lebih dari 700 tahun. Kursi Gading ini adalah singgasana dari kerajaan Pajajaran yang diperuntukkan bagi Putra Mahkota Pajajaran yaitu Pangeran Walangsungsang. Kursi ini digunakan pada awal pemerintahan Kesultanan Cirebon hingga Sultan Kanoman VIII, karena kondisinya yang telah mulai rusak maka mulai sultan kanoman IX kursi ini dimusiumkan. Kursi ini merupakan satu-satunya yang masih ada di Indonesia dari peninggalan Kerajaan besar.
Tradisi adalah adat istiadat atau hal lainya yang menjadi kebiasaan turun-temurun dan selalu dilaksanakan dalam kehidupan. Beberapa upacara dan tradisi Kasultanan Kanoman ialah :
a. Siraman Gong Sekati
Menjelang peringatan Maulud Nabi Muhammad, Keraton Kanoman Cirebon menggelar ritual Siraman Gong Sekati. Seperangkat alat gamelan dan gong dikeluarkan dari tempat penyimpanan di gedung jimat kemudian dibawa menuju langgar alit di kompleks Keraton Kanoman oleh abdi dan kerabat Keraton. Gong Sekati merupakan salah satu pusaka Keraton Kanoman peninggalan abad ke-15. Proses siraman dimulai dari Gong tertua, seluruh perangkat gamelan disiram dan dibasuh. Proses penyiraman hanya boleh dilakukan oleh keturunan kerabat Keraton Kanoman dari Desa Sindang Kasih, Kecamatan Beber Kabupaten Cirebon. Setelah penyiraman, perangkat gamelan digosok dengan sabut kelapa serta abu gosok dari batu merah. Air bekas siraman diperebutkan oleh para pengunjung karena dipercaya membawa berkah. Usai proses siraman, Gong Sekati dibawa ke Bangsal sekaten. Di tempat tersebut Gong Sekati mulai dibunyikan setiap malam hingga malam puncak peringatan Maulud Nabi Muhammad atau sering disebut Malam Panjang Jimat.
b. Cuci Jimat Tradisional
Dalam penyambutan 1 Suro, di Kasultanan Kanoman menggelar Cuci Jimat Tradisional. Hal itu dilakukan secara bertahap antara tanggal 1 sampai tanggal 10 Suro. Pencucian biasanya dipimpin oleh Lurah Dalem yang mengurusi masalah internal Keraton. Proses pencucian tidak diperbolehkan menggunakan zat kimia, diharuskan menggunakan ramuan tradisional, seperti campuran jeruk nipis dan air kelapa. Sebelum dicuci jimat-jimat direndam selama 2 hari sampai 1 minggu. Setelah perendaman, pusaka atau jimat-jimat dimandikan dengan air kembang tujuh rupa.
c. 1 Muharram / Suro
Peringatan 1 Suro atau 1 Muharram di Cirebon melibatkan dua keraton utama, yaitu Kasepuhan dan Kanoman. Dalam meramaikan 1 Suro diadakan pergelaran “Helaran Budaya” yang digelar di balai kota, dua hari menjelang 1 Muharram. Helaran menyajikan pertunjukan sendratari kolosal “Babad Cirebon” yang berlangsung satu jam. Drama diakhiri dengan penancapan “Pohon Witana”. Setelah itu dilakukan pawai prajurit Keraton Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan.
Keraton juga menggelar sejumlah acara ritual dalam memperingati malam 1 Suro. Misalnya Kanoman, satu hari menjelang 1 Muharram diadakan khitanan masal bagi anak-anak warga sekitar. Anak-anak tersebut dibekali dengan baju kampret, peci,sarung, sandal makanan dan uang. Sebelum khitanan masal diadakan, mereka berkunjung ke makam sunan Gunung Jati untuk membaca Sholawat dan Tahlil. Puncak peringatan malam 1 Suro yaitu pembacaan Babad Cirebon bertempat di Mande Witana. Babad tersebut menceritakan awal berdirinya kerajaan Cirebon yang dibacakan langsung oleh Sultan. Pada mulanya pembacaan Babad dilakukan di bangunan Witana, belakang Keraton Kanoman. Akan tetapi bagunan tersebut terlalu tua dan dikhawatirkan rusak maka dialihkan ke pendopo utama. Selama pembacaan naskah Babad Sultan didampingi oleh tujuh abdi, tiga orang membawa baki berisi naskah babad, tempat kemenyan, meja kecil; empat orang membawa lilin, serta didampingi oleh enam ulama sepuh. Usai pembacaan babad, acara dilanjutkan dengan persembahan nasi tumpeng kepada khalayak yang hadir.
d. Maulid Nabi Muhammad
Di Keraton Kanoman Cirebon tradisi merayakan Maulid Nabi Muhammad berlangsung sejak lima abad yang lalu, ketika Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam. Maulid merupakan hajatan besar setiap tahun yang melibatkan banyak orang, termasuk masyarakat umum diluar Keraton serta penyediaan makanan dalam jumlah besar yang berlangsung di bangsal Sekaten. Maulid menjadi hari istimewa, karena banyak bagian-bagian di keraton yang tertutup rapat terbuka untuk umum. Proses Maulid Nabi terdapat pemotongan dua ekor Kerbau, dagingnya dihidangkan kepada para tamu dan kepalanya ditanam di dua penjuru gerbang Keraton. Kurban Kerbau ini adalah rasa ungkapan syukur dan kepalanya ditanam di alun-alun sebagai penguat atau memperkokoh keraton supaya keraton selulu ingat kepada rakyat.
Tradisi Maulid Nabi menjadi kesempatan emas untuk bertemu dengan Raja. Pada upacara tersebut, wanita sibuk membuat wangi-wangian dari aneka macam bunga yang harum yang akan ditaburkan disetiap piring besar saat arak-arakan Panjang Jimat. Sedangkan keluarga dan abdi dalem akan bersiap-siap membawa benda pusaka dan makanan ke Sultan untuk meminta restu.
Puncak peringatan Maulid Nabi yaitu Panjang Jimat. Adapun prosesi dari panjang jimat tersebut, yaitu arak-arakan nasi tujuh rupa atau nasi jimat yang melambangkan hari kelahiran manusia. Nasi diarak dari bangsal jinem yang merupakan tempat sultan bertahta, ke masjid atau mushola keraton. Nasi jimat diarak dengan pengawalan barisan abdi dalem yang membawa simbol-simbol sebagi lambang. Barisan pengiring nasi jimat ini berupa: pembawa lilin, bertujuan sebgai penerang yang kemudian diikuti dengan iring-iringan pembawa perangkat upacara seperti manggaran, nadan, jantungan yang merupakan lambang dari kebesaran dan keagungan. Barisan selanjutnya ialah pembawa air mawar dan kembang goyang lambang dari air ketuban sebelum bayi lahirdan usus atau ari-ari yang mengakhiri kelahiran. Disusul oleh iring-iringan pembawa air serbat yang disimpan di 2 guci (lambang darah saat bayi lahir) dan 4 baki (lambang 4 unsur dalam diri manusia: angin tanah, api dan air).
Prosesi bergerak dari keraton menuju Masjid Agung peninggalan Sunan Gunung Jati dan berlangsung dengan khidmat, semua warga berhenti melakukan kegiatanya dan prosesi berakhir ditempat ini. Patih dan semua Sesepuh membacakan kitab Barzanzi yang berisi sejarah Nabi, agar masyarakat mau mencontoh kebajikan yang dilakukan Nabi semasa hidupnya. Masyarakat diluar setia menunggu hingga larut malam dengan harapan kebagian makanan sesaji atau kepingan, setelah acara pembagian. (http://mystys.wordpress.com/2008/03/11/kegaiban-ritual-panjang-jimat).
e. Kesenian Gembyung
Gembyung merupakan salah satu peninggalan budaya Islam di Cirebon. Kesenian Gembyung juga dilaksanakan di Keraton Kanoman. Seni ini merupakan pengembangan dari kesenian terbang yang hidup di lingkungan pesantren. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada saat upacara kegiatan Islam seperti peringatan Maulid Nabi, Rajaban, dan Kegitan 1 Suro. Sesuai perkembanganya Gembyung tidak hanya dipertunjukan dalam acara Islam saja akan tetapi juga dalam acara kelahiran bayi, khitanan, dan perkawinan. Kesenian Gembyung telah dipengaruhi oleh Seni Tarling dan Seni Jaipongan. Lagu yang disajikan pada pertunjukan Gembyung diantaranya lagu-lagu Shalawat Nabi, Shalawat Badar, dan para pemain mengenakan baju kampret, memakai peci dan sarung.